Republika, 11 Desember 2015
ketika dirublik uswah koran nasional republika tertulis nama saya, ini menjadi suatu muhasabah akhir tahun bagi saya. ada rasa malu dan tak pantas nama itu ada di rubrik tersebut, karna belum banyak yang yang dapat diperbuat. ada rasa takut, takut tak bisa istiqomah dalam berkontribusi dalam dunia pendidikan. untuk isi dari rubrik tersebut silahkan baca di http://epaper.republika.co.id/main/landingShare/200800/fb
saat ini, saya ingin berkisah, tentang sebuah keterpanggilan untuk menggeluti dunia pendidikan dan ingin menjadi seorang ahli dan peneliti dibidang pendidikan khususnya psikologi pendidikan islam.
kisah ini berawal tepat lima tahun yang lalu, pada tahun 2010, saya menduduki bangku Aliyah kelas duabelas IPA 2 disalah satu madrasah aliyah negri di kota kelahira saya, kota Payakumbuh. Dua bulan menjelang Ujian Nasional, Saat itu saya termasuk salah satu yang diduga mejadi profokator kasus antara murid dan guru. dan saat itu ada isu yang terdengar kami sekelas tidak bisa mengikuti ujian nasional karena telah menghidupkan api pemberontakan disekolah. jika ditilik kembali, kasusnya hanyalah sebuah harapan murid terhadap gurunya. tapi masalahnya terletak pada jembatan yang digunakan antara murid dan guru itu tidak kokoh, akhirnya robohlah harapan yang dibawa tersebut dan menjadi adu domba dan saling menyalahkan.
sejak itu hati saya semakin mantap, tidak akan dan tidak ingin menjadi seorang guru. tapi beberapa hari saat api pemberontakan itu nyala, masuk guru kelas kami. memang saat itu, sasaran tebesar untuk meluapkan emosi kemarahan hanyalah pada kami. dan saat itu terlontarlah dari mulut seorang guru tersebut menyumpahkan kami untuk menjadi seorang pendidik, merasakan bagaimana menjadi seorang guru. saat itu hati saya masih bisa memberontak, bahwa saya tidak mau menjadi guru dan tidak akan menjadi seorang guru.
dari situlah berawal, satu tahun, dua tahun, tiga tahun dan sampai saat ini, Allah kabulkan sumpahnya seorang guru. guru yang dulu sangat tidak saya senangi telah menjadi guru inspiratif saya, guru yang selalu hadir dalam setiap do'a saya. saat ini kecintaan saya menjadi seorang pendidik adalah keterpanggilan jiwa. memang awalnya saya sempat menangis saat anak-anak tidak bisa diatur, tidak bisa diajari, ternyata metode yang saya gunakanlah yang salah. terjun menjadi relawan pendidikan menjadi hobi dan passion saya untuk selalu bergerak. dan dari sini lah saya bertekad untuk terus menuntut ilmu, untuk mengejar impian saya menjadi psikolog pendidikan, konsultan pendidika dan guru besar dalam psikologi pendidikan.
sekarang saya menyadari, saat itu saya bukanlah profokator terhadap masalah besar saat itu. kami sekelaspun seperti menjadi buan-bulanan murid lain, menjadi objek bulliying. mungkin jika dianalogikan seperti anak dan ibu, mungkin kami telah diberi cap sebagai anak durhaka. begitulah bentuk penilaian murid-murid lainnya, guru, dan bahkan lingkungan disekitar sekolah. tapi hanya ada beberapa guru yang mengetahui yang sebenarnya masalahnya, banyak yang tidak mengetahui tentang jembatan yang roboh, ia hanya mengikitu isu-isu yang berkembang tentang pembangkangan, tapi hanya sedikit orang yang tahu bagaimana keadaan sebenarnya, tentang jembatan yang roboh, tentang adu domba dan saling menyalahkan. saat itu sekali lagi saya katakan, saya bukanlah profokator. saya diduga profokator karena saat itu saya duduk paing depan dan di depan guru sang jembatan tersebut.
tapi peristiwa itu bukanlah kebetulan, itu adalah bagian dari perjalan hidup yang sudah diatur oleh Allah, dan ternyata banyak hikmah tentang peristiwa tersebut. berawal dari sumpah seorang guru. menjadi seorang pendidik adalah sebuah keterpanggilan. dari sanalah Allah tunjukkan bahwa menjadi seorang pendidik dan guru adalah profesi yang sangat mulia. menjadi seorang pendidik adalah sosok yang membangun peradaban.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :
Posting Komentar