Desa di tengah hutan, ada setumpuk rumah yang disebut dengan kampung, jumlahnya maksimal 25 rumah saja dan disana ada sekolah. Aku seperti mimpi ketika pertama kali pergi sekolah dengan keributan anak-anak di pagi hari bermain bola. Disini sekolah masuk pukul delapan pagi karena menunggu siswa siswa dari kampung sebelah yang membutuhkan waktu 30 menit jalan kaki menuju sekolah. Jam setengah tujuh anak-anak sudah ada di sekolah, bermain di halaman sekolah menunggu bel masuk berbunyi.
Belpun berbunyi jam delapan pagi, kepala sekolah yang membunyikan. Kepala sekolah selalu datang lebih awal dariku, 15 sampai 30 menit sebelum bel di bunyikan. Hanya ada aku, kepala sekolah dan satu orang lagi guru sukarela yang berasal dari kampung itu. Jumlah siswa sekitar lima puluhan anak. ada tiga orang guru saja. aku mengajar kelas tiga dan kelas empat, kepala sekolah mengajar kelas lima dan kelas enam dan kelas satu dan dua yang jumlah muritnya lebih banyak di ajar oleh guru sukarela itu yang sering kita panggil pak guru amatus.
Apa yang terbayang ketika anak kelas tiga SD harus membawa adiknya ke sekolah dan mengasuhnya disekolah karena orang tuanya pergi ke kebun? Anak ini belajar sambil mengasuh adiknya yang terkadang menangis. Tak pernah terbayangkan olehku akan menjadi guru disini. Dengan murid murid yang tidak memakai sepatu ke sekolah. Yang serangamnya kumal yang selalu dilapisi baju sehari-hari didalamnya, ketika istirahat sekolah baju seragamnya dibuka dan mereka bermain bola. Yang hanya bisa dihitung jari mandi dalam sebulan.
Tak jarang aku harus mengajar sendiri satu sekolah. Mengajar kelas satu sampai kelas enam sekaligus itu bukan hal yang gampang. Aku selalu minta tolong kelas lima dan enam untuk mengajar adik adik mereka kelas satu dan dua. Jika kelas lima dan enam diberikan tugas oleh kepala sekolah aku meminta kelas dua mengajar kelas satu mengenal huruf dan angka. Cukup terbantu sekali jika aku harus seorang diri mengajar di sekolah. Anak-anak sudah terlatih menjadi guru kecil mengajarkan adik adiknya.

Suatu hari aku menggabungkan kelas satu sampai kelas enam. Kita bernyanyi, bermain dihalaman dan bercerita. Akupun bertanya pada anak-anak. “Jika Tuhan mengabulkan satu permintaan kalian terhadap sekolah ini. apa yang kalian minta nak?” kami ingin tambah ibu guru lagi. Jawab mereka. Jawaban mereka tak terfikirkan olehku sebelumnya. Aku berfikir mereka akan meminta seragam baru kah, sepatu baru kah, tas baru kah atau bahkan malkis ataupun supermie.
Sejenak aku terdiam dan kembali bertanya. “Kalian sungguh ingin meminta guru lagi?”. “iyo sungguh itu ibu guru”. Aku berfikir, seandainya mereka bisa menjelaskan secara baik mungkin mereka akan bilang. Kita sering tidak belajar karena bapak dan ibu guru sering tidak masuk sekolah. Kita sering diberi tugas menulis karena ibu guru dan bapak guru sering izin ke kota. Kita ingin belajar. Kita ingin dijelaskan pelajaran. Mungkin mereka akan bicara seperti itu jika ia bisa menjelaskan. Sayangnya mereka belum bisa menjelaskan pertanyaan dengan kata mengapa? Kenapa?.
Disini guru tidak masuk sekolah bukanlah suatu kegembiraan bagi mereka. Aku melihat anak anak ketika aku masuk ke kelas mereka selalu semangat belajar dan menyambutku dengan semangat. Terdengar pukulan meja satu kali semua anak berdiri, kemudian pukulan meja lagi tiga kali dengan serempak mereka meneriaakkan selamat pagi ibu guru. Jika waktu istirahat kelamaan mereka selalu bilang, ibu guru ayo kita masuk. Dan ketika pulang selalu mengingatkan untuk diberikan tantangan atau PR.
0 komentar :
Posting Komentar